Live your life

Your life is your pandora box, it’s gives you million unpredictable present, there will be no reason to fill your life with emptyness if you really read your God messages through everythings happened in your life. Allah loves you and will always do. He just wants you to take His blessing in everything you’ve done, until you are appropriate to stay in jannah forever.

image

My Marketing Class, Enlightening Mind Toward ASEAN Economic Community

Marketing Management Class PMB 541

Lecturer Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc

Dr. Muhammad Najib, STP

www.ujangsumarwan.blog.mb.ipb.ac.id

sumarwan@mb.ipb.ac.id

Based on Book written by Ujang Sumarwan, Agus Djunaidi, Aviliani, H.C.Royke Singgih, Jusup Agus Sayono, Rico R Budidarmo, Sofyan Rambe. 2009. Pemasaran Strategik: Strategi untuk Pertumbuhan Perusahaan dalam Penciptaan Nilai bagi Pemegang Saham (Strategic Marketing: Strategy for Corporate Growth in Creating Share Holder Value). Jakarta. Inti Prima

Picture2

Based on Sumarwan, U., Achmad Fachrodji., Adman Nursal., Arissetyanto Nugroho., Erry Ricardo Nurzal., Ign Anung Setiadi., Suharyono., Zeffry Alamsyah. 2010. Pemasaran Strategik: Persfektif Value-Based Marketing dan Pengukuran Kinerja.(Strategic Marketing: Value Based and Performance Measurement Perspectives) Bogor, IPB Press.

Picture3

Class note

(Hakuna Matata and look beyond what you see -Lion King-)

Recently, I am a master student of Management and Business IPB, such a great blessing from Allah in this passing year. Studying different subject concentration than my earlier degree is gaining such interest in me. In this period, I am studying about financial management, Operation and Production Management, and Marketing Management. The last subject was attracting my concern, because in the beginning of the class, the Professor, Mr Ujang Sumarwan, was give us beneficial information about ASEAN Economic Community which will be started in 2015, and marketing paradigm to take a chance in every faced problems.
Mr Ujang was started to talk about paradigm. In every nation, will be developed based on people paradigm to face and solve the existing problem. One problem might be solved in different way depend on decision maker paradigm.
Halal label case in 1980, Indonesian government seen the problem as political tools for particular people to gain people interest and political alignment, while Australian government seen the halal label case is one of marketing strategy to market their product especially in meat product. Australian government noticed that, Islam is one of largest religion in the world. Every moeslem, Islam people, have to life under several rules in Al-quran and Al-Hadist, include any kind of food they are allowed to eat. The food must be in good quality and halal. Thus, will be a chance to expand Australian meat market into moeslem country such as Middle East, Indonesia, Malaysia, and Turkey. In early 2000, Australian government has been successful to build sustainable halal assurance system, and Indonesian government was starting to study that system to Australian government.
This case proved that different paradigm will resulted different action to see a problem. The action weather could be a competitive advantage or result nothing for us. Global market and global community, such as ASEAN Economic Community is strives Indonesia to create own competitive advantage and develop the marketing paradigm so that, Indonesia could compete and lead the global market.

PS. Talking about marketing strategy, Mr Ujang was give his brief explanation in his two latest book. Those books are recommended for everyone who interest in marketing study, and available in your favorite bookstore or IPB library. Have a nice day.

Best regards
Novicha Sofriani
Graduate student of Management and Business (E45)
Institut Pertanian Bogor

Kecerdasan Apresiatif : Selalu ada Keistimewaan Di Tengah Keterbatasan

Seorang anak berusia menjelang enam tahun, Nina nama aliasnya, mengikuti tes penerimaan sekolah dasar. Tes kematangan sekolah, begitu pihak sekolah menyebut. Di hari libur, bersama sekian puluh anak lainnya, para calon siswa itu diujikan kemampuannya dalam mewarnai, menulis, membaca, menggambar. Sekian jam waktu tes berlangsung, sementara itu orang tua harus menunggu jauh-jauh di luar dan dilarang bahkan untuk sekadar memunculkan wajah mereka di jendela sebagai upaya menenangkan anak, misalnya. Hasilnya Nina dinyatakan gagal untuk menjadi murid sekolah itu dengan alasan kemampuannya belum mencapai potensi standar untuk bersekolah, kurang matang emosinya dan tidak ekspresif. Nenek Nina geram benar. Perempuan lanjut usia itu langsung mendatangi sekolah mengajukan protes dan ketidaksetujuannya akan alasan penolakan sekolah terhadap cucunya. Penilaian sekolah yang meragukan potensi si anak serta penyebutan tidak ekspresif itu yang terutama ditentang nenek Nina. Yakin benar sang nenek bahwa cucunya justru sangat ekspresif dan memiliki bakat besar. Dengan lantang ia kemudian mengatakan, “Rugi benar sekolah yang tidak menerima anak istimewa yang punya potensi hebat ini.” Belasan tahun kemudian ucapan sang nenek terbukti. Tidak saja berhasil meraih prestasi akademik dengan selalu menjadi juara kelas dan peraih NEM tertinggi di kotamadya, namun pula sekian penghargaan seni dan karya kreatif lainnya, termasuk bahkan penghargaan cipta karya seni tingkat nasional mewakili fakultas dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama dan akhirnya dinyatakan lulus dengan gelarcum laude. Peristiwa di atas sudah lama sekali berlalu , namun teringat jauh sesudah itu saat saya menemukan sebuah buku di perpustakaan, “Appreciative Intelligence, seeing the mighty oak in the acorn”, demikian judul buku yang ditulis oleh Thatchenkery & Carol Metzker dan diterbitkan Beret Kohler Publisher, Inc San Fransisco, tahun 2006. Buku tersebut tegas sekali menyatakan peran penting Appreciative intelligence dalam kehidupan manusia. Didefinisikan sebagai “kemampuan untuk selalu melihat potensi positif dari setiap orang atau sebuah peristiwa, kecerdasan apresiatif ini bahkan diyakini akan menjadi kapasitas kunci dari kreativitas, kepemimpinan dan kesuksesan(Discover the ability behind creativity, leadership and success). Kemampuan untuk melihat daging buah yang manis berair dengan serat lunak lembut dan menawarkan kesegaran meskipun kulit buah tersebut kasar bahkan tajam berduri. Begitu ilustrasi untuk menggambarkan “kecerdasan apresiatif” (appreciative intelligence). Kepandaian ini menjadi penting karena mampu “membelah ” kulit buah yang tebal kasar berduri agar kelezatan isi dan daging buah dapat dinikmati oleh banyak orang. Betapa banyak orang yang akhirnya tidak berkesempatan menikmati daging buah durian yang melekat di bijinya karena mereka hanya memandang tajamnya duri-duri di kulit buah, legit harum durian akan tetap tersimpan jauh di dalam. Potensi kepemimpinan, kreativitas dan keberhasilan seseorang tidak akan muncul jika lingkungan sekeliling, orang tua, pendidik, dan masyarakat tidak “ramah” terhadap keterbatasan dan kekurangan serta bersabar sebelum akhirnya menemukan kelebihan-kelebihan yang ia miliki. Kisah kuno Cina berikut ini memberikan pelajaran berharga tentang bersikap ramah dan sabar terhadap keterbatasan. Seorang perempuan memiliki dua bejana yang selalu dijinjingnya untuk membawa air. Sebuah bejana berada dalam kondisi baik, sempurna, tak ada kekurangan apapun, sementara bejana lainnya retak kecil di sana-sini. Karena itu di akhir perjalanan bejana yang sempurna berhasil membawa utuh air yang terisi, jauh berbeda dengan bejana lainnya yang menyisakan separuh saja karena sebagian air tercecer, bocor menetes di sepanjang perjalanan. Sang bejana yang bagus berbangga akan kemampuannya menunaikan tugas, sebaliknya bejana yang retak merasa sedih dan malu atas kekurangannya. Talah sekian lama hal tersebut berlangsung, tak mampu lagi bejana retak menahankan getirnya kegagalan sehingga ia memberanikan diri berbicara pada wanita tua pemilik bejana, “ Maafkan kecacatanku sehingga tidak berhasil membawa banyak air sebagaimana temanku. Aku sedih dan malu sekali atas kekuranganku ini..” Jawaban sang wanita tua begitu luar biasa dan mencengangkan. Tidak ada nada kemarahan atau ucapan yang mempersalahkan apalagi mempermalukan bejana retak. Ini jawabannya,“Wahai bejanaku, tidaklah engkau perhatikan sepanjang jalan yang kita lalui? Ada satu sisi penuh ditumbuhi tanaman berbunga cantik aneka warna dan harum, sedangkan sisi lain tidak ? Karena retak-retak kecil di tubuhmu membuat air bocor menetes, maka aku taburkan benih bunga di sisi aku membawamu. Tetesan air yang keluar dari retakmu telah menyirami benih bunga hingga tumbuh bersemai dan kemudian menjadi pohon yang subur dan menghadiahkan kuntum-kuntum bunga. Aku kini bisa memetik bunga-bunga cantik penghias rumahku ..” Seperti itulah kecerdasan apresiatif. Ia pandai memaknai konsep pengelolaan SDM “the right man on the right place” , menempatkan orang yang tepat pada tempat yang tepat. Seorang pemimpin dengan appreciative intelligencetidak semata mengecam atau bahkan begitu saja menyingkirkan seseorang yang memiliki kekurangan, melainkan bersikap ramah terhadap berbagai keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Bagian dari kecerdasan apresiatif adalah sikap positif meyakini bahwa setiap orang akan mampu belajar dari kegagalan. Bill Gates boleh jadi memiliki bagian dari kepandaian apresiatif tersebut. Konon dikisahkan, seorang pegawai muda baru bergabung dengan perusahaan dan tak lama kemudian telah dipercayakan untuk melaksanakan sebuah kegiatan dengan modal kerja cukup besar. Alih-alih menangguk keuntungan, proyek tersebut justru merugi besar. Kecut hati sang pegawai baru karena merasa ialah yang menjadi penyebab kerugian. Tuntutan rasa bersalah dan keinginan bertanggungjawab menggerakkannya untuk mengajukan pengunduran diri. Kurang lebih seperti ini jawaban Bill Gates , pemilik Microsoft, yang disebut-sebut sebagai salah satu orang terkaya di dunia, “Bodoh benar aku jika melepaskan seseorang yang baru saja belajar banyak, seseorang yang mendapatkan pengalaman berharga dari kegagalannya dan tidak memberinya kesempatan untuk bertanggungjawab memperbaiki kesalahannya”. Memberi ruang untuk seseorang berbuat salah, itu kapasitas lain dari kecerdasan apresiatif. Tidak ada seorangpun yang tiba-tiba menjadi arif dan bijak. Sebagaimana ungkapan sebuah pepatah, “Wisdom comes from good judgment, Good judgment comes from experiences, Experience comes from mistakes and Mistake comes from bad judgments”. Pengalaman mencari hikmah dan pembelajaran, tak terkecuali sekian kesalahan yang pernah dilakukan, itu yang akan menyampaikan seseorang pada kebijaksanaan. Menciptakan lingkungan kondusif untuk belajar, kapanpun dan dimanapun, adalah pula bagian yang melekat dari appreciative intelligent. Menciptakan lingkungan yang mengilhami dan mengundang untuk belajar (inspiring and inviting environment to learn), demikian pernah dituturkan oleh guru besar ilmu pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Prof Conny Semiawan saat mengajarkan “belajar cara belajar” (learn how to learn). Ruang besar yang mengundang untuk belajar, berani mencoba, dan tak takut pada kegagalan, menurut hemat penulis, tersedia di Institut Pertanian Bogor (IPB). Kemampuan kewiraswastaan dan keinginan wirausaha (entrepreneurship), cukup kuat melekat pada karakter pendidikan di perguruan tinggi yang kerap dipelesetkan dengan berbagai singkatan; salah satunya adalah Institut “Pleksibel Banget”. Mahasiswa atau alumni yang berwiraswasta, berdagang, bukan hal yang aneh lagi. Bermodal seadanya, menapak dari anak tangga pertama, memulai dari bawah, dengan risiko merugi seolah justru menjadi tantangan bagi mereka. Seperti kisah nyata yang dialami mahasiswa IPB berikut ini: Vika berteriak panik sambil tetap memegang setir, “Coba telepon pak Asep, tanyain, kita mesti apa..?”, merespons kebingungan Andin, seorang teman usahanya yang duduk di bagian belakang mobil menjaga beberapa kambing. Vika memang tidak punya jawaban atas pertanyaan Andin, “Ini kambingnya kok lemas begini, kepalanya terkulai..”Pak Asep, tukang yang dibayar untuk menjaga kandang dan merawat kambing-kambing sejak kecil hingga layak untuk dijual sebagai hewan Qurban, saat ditelepon kemudian menasehati, “Tekan-tekan aja Neng dada kambingnya, sambil telinganya (si kambing) ditarik-tarik.” Upaya penyelamatan memang tak berlangsung terlalu lama, dan (syukurnya) tak perlu berlanjut hingga tindakan pernapasan buatan (ke mulut kambing!), meski telah sempat terpikirkan dan ditanyakan pula oleh kedua mahasiswa yang sedang kebingungan itu. Sang kambing akhirnya tak bisa diselamatkan dan menghembuskan napas terakhir di mobil yang semula hendak mengantarkan ke pembeli hewan qurban. Episode kehebohan drama berjualan kambing qurban bersambung keesokan harinya, saat ayah Vika akan memakai mobil untuk berangkat kerja dan terkejut luar biasa karena mencium bau kambing di mobil Fortuner-nya! Ternyata Vika diam-diam memakai mobil ayah untuk mengantar beberapa kambing ke tempat pemesan. Meski AC telah dimatikan, jendela dibuka lebar-lebar dan sore hari usai mengantar mobil dicuci di tempat pencucian, tetap saja bau “prengus” kambing kuat melekat di mobil mewah itu. Teriakan dan kemarahan sang ayah akhirnya mereda berganti senyum kecut saat putri sulungnya meminta maaf dan menceritakan keinginannya untuk mandiri dan belajar usaha, sesuatu yang memang kerap sampai ke telinganya sebagai “ tradisi” dan banyak dilakukan teman-teman kuliah anaknya. Pengalaman pahit merugi dan menemukan ruang untuk belajar dari kegagalan dialami oleh Haris dan Nurul, pasangan muda yang keduanya alumni IPB. Bertekad tidak mau kerja “kantoran” dan ingin berwirausaha adalah alasan mereka mendirikan biro perjalanan (termasuk menjadi agen dari biro haji dan umroh) segera sesudah pernikahan. Sekian waktu usaha tersebut berjalan baik, sampai akhirnya mereka merasakan kepahitan karena ditipu dan kehilangan sejumlah uang yang menguras habis tabungan. Karena semangat wirasawasta ini telah kerap disampaikan oleh sang anak, baik Nurul maupun Haris, kepada kedua orang tua masing-masing, dan keduanya bahkan telah pula memulai dengan usaha kecil-kecilan lainnya saat masih kuliah, karena itu orang tua dari pasangan muda tersebut tidak lagi merasa kaget. Sama halnya dengan ayah Vika, orang tua Haris dan Nurul memahami bahwa semangatentrepreneurship adalah karakter dan buah pendidikan di tempat kuliah anak mereka. Singkat saja komentar ayah Nurul menanggapi musibah kerugian dan penipuan yang dialami anak-mantunya, “Itu SPP kamu dari sekolah berdagang. Ada banyak pelajaran yang didapat dari sekolah berdagang ini.“ Menyemangati anak-anak mereka, mengingatkan untuk jauh lebih waspada dan berhati-hati,mengambil pembelajaran dari kegagalan serta menunjukkan jalan keluar untuk bangkit dan memulai kembali, itu langkah dan kisah yang berikutnya terjadi. Bila merujuk pada shiroh, Rasulullah SAW tidak menyalahkan orang perorang atas kekalahan yang terjadi di perang Uhud. Mengambil pembelajaran tentang betapa mahalnya harga ketidaktaatan, itu yang segera dilakukan oleh para sahabat Rasul yang mulia. Namun yang amat luar biasa adalah bahwa Rasululllah SAW tidak membiarkan pasukan mukmin untuk “patah dan mati”. Memerintahkan untuk segera bergerak dan kembali menyerang hanya dalam bilangan waktu yang amat singkat saat kaum musyrikin sama sekali belum siap dan masih terlena dalam kemenangan itulah yang kemudian terjadi. Memberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan dan kekalahan, memberikan ruang bagi para sahabat untuk menebusnya dengan upaya dan kerja keras lainnya, itu yang diajarkan oleh pemimpin terhebat sepanjang zaman, Rasulullah SAW. Pemimpin berkepandaian apresiatif punya mata tajam untuk melihat segala potensi, saat hal itu belum muncul sebagai realita atau bahkan sekadar sebagai tanda-tanda. Mereka memiliki kemampuan “seeing how the future unfolds from the presents”, untuk melihat kekuatan tersembunyi yang belum berhasil ditandai oleh siapapun. Mereka adalah para pelatih yang menemukan bakat dari anak yang terlihat biasa-biasa saja di kampung-kampung, juga kakek nenek yang berhasil meneropong dan mngetahui keistimewaan cucu mereka jauh sebelum potensi tersebut dapat dipupuk atau diketahui oleh orang lain. Ketajaman intuisi menemukan potensi ini yang melahirkan Thomas Alva Edison, yang penuh percaya diri mengatakan, “I have not failed, I have just found 10.000 ways that won’t work”, sebelum akhirmya lewat usaha panjang menemukan bola lampu pijar yang mengubah dunia dan dirasakan manfaatnya hingga kini, padahal ia diragukan kemampuan belajar di sekolah bahkan dianggap anak yang bodoh. Atau Hellen Keler yang terkenal dengan ucapannya , “there is nothing more pathetic than a man with eyesight but has no vision”. Ia yang buta tuli dan bisa akibat pernah menderita sakit di masa kecilnya, terus “ada” hingga kini dengan yayasan hellen keler yang banyak memberikan sumbangsih untuk kesehatan mata, misalnya, Kemampuan Hellen keler memberi banyak manfaat tentu tak terlepas dari perjuangan ayah ibunya yang meyakini di antara segala kekurangan anaknya pasti ada keistimewaan dan potensi luar biasa. Dariorang-orang seperti merekalah kita belajar untuk memahami istilah diffable not disable,different ability (perbedaan kemampuan) bukandis-ability (ketidakmampuan). Tidak semata soal ketidakmampuan, melainkan sebenarnya adalah perbedaan kemampuan. Seseorang yang memiliki kecerdasan apresiatif meyakini bahwa adalah tantangan bagi kita semua, bagi setiap pemimpin untuk menemukan dan mengubah keterbatasan atau kekurangan sesorang menjadi keunikan dan keistimewaan. Keyakinan bahwa setiap manusia tercipta terbaik, sebagaimana ayat Qur’an, ”laqod kholaqnal insana fi ahsani taqwim“. Seseorang berkecerdasan apresiatif tidak berhenti hanya karena memandang kulit buah yang kasar dan tajam berduri, namun meneruskannya hingga menemukan daging buah yang enak dan lunak, karena semua mahluk terlahir istimewa. Jadi, yakinlah, diffable bukan disable.
Ditulis oleh Dr. Dumilah Ayuningtyas